Minggu, 15
Januari 2012 - Kemarin,
9 Januari 2012, di saat yang tak terduga, kami berkunjung ke Museum Geologi di
Bandung. Museum ini merupakan museum dengan koleksi geologika yang termasuk
juga fosil, selain batuan dan mineral. Koleksi bagian sejarah alamnya hampir
lengkap dan beberapa bahkan hanya dapat ditemukan, katanya, di museum ini. Ada
ratusan ribu batuan dan puluhan ribu fosil purba, sebagian dipajang dengan rapi
dan informatif.
Berikut ulasan mengenai museum geologi Bandung,
kekurangan dan kelebihannya. Ulasan ini hanya saya fokuskan pada daerah sejarah
alam karena saya lebih mengetahui daerah ini dibandingkan daerah batuan dan
mineral. Bagian atas museum sedang diperluas sehingga kami tidak dapat naik ke
atas
Kelebihan Museum Geologi
Di bagian sejarah alam, seperti museum-museum sejarah
alam umumnya, terdapat rentetan fosil dari pertama terbentuknya Bumi hingga
masa modern. Gambaran evolusi kehidupan sangat akurat. Display di
tata secara historis. Begitu anda masuk, anda akan diajak ke awal pembentukan
Bumi, terus ke ujung barulah anda akan tiba di daerah evolusi manusia. Koleksi
fosil di daerah awal pembentukan Bumi juga cukup lengkap. Fosil tertua
tampaknya adalah stromatolit yang berusia 3,5 miliar tahun.
Beberapa fosil tertua di dunia yang usianya sekitar 1
miliar tahun atau lebih dapat ditemukan: Collenia sylindrica, Xystridura
saint, Ellipsocephalus hoffi, Phycodes circinnatus, Pentacrinites subangularis,
Halysites sp, Monograptus bohemicus, Spongophylum thezaslen, Tryplasma
lansdalei, dan lain-lain.
Replika
Kerangka T-Rex di Ruang Sejarah Alam Museum Geologi Bandung
Karena Indonesia di masa dinosaurus masih berada di
bawah air, dapat diduga kalau fosil-fosil hewan dinosaurus darat tidak dapat
atau nyaris tidak ditemukan. Mayoritas fosil dinosaurus berasal dari luar
negeri. Satu fosil dari Indonesia adalah dinosaurus air, Ichtyosaurus, dari
Pulau Seram.
Seperti halnya negara vulkanis, ada banyak sekali
fosil kayu berusia antara 5 hingga 10 juta tahun, dipoles dengan indah.
Fosil-fosil kayu besar semacam ini dapat ditemukan pula di wilayah
lereng-lereng gunung berapi di Jawa karena mudahnya kayu memfosil pada daerah
vulkanis. Fosil lain yang melimpah di museum ini adalah fosil khas wilayah
minyak bumi seperti fosil-fosil foraminifera, molluska, dan hewan lunak
lainnya.
Di bagian manusia purba, terdapat banyak sekali fosil
asli Indonesia. Ruang khusus ini memajang berbagai replika fosil manusia purba
di dunia dan fosil manusia purba seperti Homo erectus yang dikenal di
dunia dengan sebutan Java Man, baik yang ditemukan di Trinil, Sangiran,
Sambungmacan, maupun di berbagai lokasi di sepanjang aliran Bengawan Solo.
Menariknya, foto Tukimin, seorang penemu tengkorak
juga diletakkan di meja pajang. Sejarah penemuan fosil juga dibeberkan dengan
jelas dan dinisbahkan pada Tukimin, bukan pada profesor ini itu. Sebuah
penghargaan yang sangat baik saya rasa. Jika anda menemukan fosil manusia
purba, mungkin foto anda akan dipajang disamping fosilnya.
Dua kelompok fosil yang relatif unik untuk wilayah
Indonesia adalah fosil manusia purba dan mamalia purba. Fosil manusia purba
mungkin sudah cukup terkenal dari buku sejarah SMP anda. Sayangnya, tidak ada
fosil Homo floresiensis, mungkin karena fosil ini masih langka dan belum
pula ada replikanya.
Pengalaman mengenai manusia purba tidak lengkap
rasanya bila tidak mengetahui bagaimana mereka hidup dan seperti apa alam
dimana mereka hidup. Dan satu lagi kelebihan museum ini, ada display besar,
yang terbesar malah, mengenai hewan besar (bukan hanya mamalia tapi ada juga
reptilia) yang hidup semasa dengan manusia purba. Fosil-fosil fauna ini memang
aslinya ditemukan di daerah dekat penemuan fosil manusia purba. Menariknya,
menurut DR. Yun Yunus Kusumabrata, fosil-fosil vertebrata di museum ini unik
dari Indonesia. Berikut ulasan lebih mendalam pada koleksi vertebrata dari
Indonesia di Museum Geologi Bandung.
Lokasi
Fosil-fosil Mamalia Purba di Museum Geologi Bandung
Fosil Vertebrata Indonesia
Sinomastodon bumiayuensis
Gajah purba berumur 1,2 hingga 1,5 juta tahun lalu
yang bentuk badannya kecil dan gading lurus.
Stegodon trigonocephalus
Stegodon trigonocephalus
Gajah yang hidup sekitar 1 hingga 1,2 juta tahun lalu,
dengan ukuran relatif besar dan gadingnya melengkung. Ada dua subspesies gajah
ini yaitu florensis dan martin. Martin berasal dari Jawa dan florensis dari
Flores. Subsepsies Martin ditemukan di Cisaat, Jawa Barat. Subspesies dari
Flores merupakan fosil vertebrata Pleistosen pertama ditemukan di Flores. Ia
ditemukan oleh Raja Nagekeo, Josef Dapangole di Ola Bula, kabupaten Ngada, pada
bulan Desember 1956. Temuan ini dilaporkan pada Dr. Th. Verhoeven, seorang
pendeta Belanda di Mataloko. Setelah penggalian lebih lanjut dan dibawa ke
Leiden, fosil kemudian diklasifikasi sebagai fosil Stegodon trigonocephalus
florensis. Penggalian lebih lanjut oleh ilmuan Indonesia menemukan fosil
Stegodon lebih banyak lagi ditambah fosil-fosil lainnya seperti fosil pengerat,
Hooijeromys nusatenggara.
Elephus hysudrindicus
Elephus hysudrindicus
Fauna Jetis (Kedungbrubus) yang hidup sekitar 800 ribu
tahun lalu, dengan bentuk badan besar dan gading melengkung. Masih
diperdebatkan apakah spesies ini berasal dari Asia atau asli Jawa.
Elephus maximus
Kelompok gajah yang masih ada saat ini. Umumnya hidup
di benua, kecuali gajah Srilanka dan Sumatera. Gajah Jawa yang baru ditemukan
di Sabah, Kalimantan, juga merupakan jenis gajah modern yang ditemukan masih
hidup di daerah pulau.
Rhinoceros Sondaicus
Badak Sunda, ditemukan di Trinil dan Kedungbrubus.
Berkerabat dengan Badak Jawa, Rhinoceros kendengindicus dari Trinil.
Memiliki tiga varian yaitu annamiticus, guthi, dan sondaicus. Berasal dari
Indochina.
Hippopotamus Simplex
Kuda Nil purba. Berasal dari Jawa.
Bubalus Palaeokerabau
Kerbau purba. Ditemukan di Kedungbrubus.
Geochelone Atlasi
Kura-kura raksasa. Fosil ini berasal dari era
Pleistosen dan ditemukan di Jawa, Sulawesi, Raebia (Atambua, Timor), dan India.
Karapaks
Kura-kura Raksasa
Celebochoerus Heekereni
Babi besar dari Sulawesi. Lebih dekat kekerabatannya
dengan Phacochoerus dari Afrika daripada dengan babi rusa.
Varanus Komodoensis
Komodo. Hewan ini masih hidup hingga sekarang. Dahulu
juga hidup di Pulau Flores dan Atambua, Timor, karena ditemukan fosil-fosilnya
disana. Kerabatnya, Varanus bolkayi ditemukan di Trinil dan Kedung
Brubus. Hooijer (1973) juga menduga kalau kedua spesies ini sebenarnya sama dan
berdistribusi mulai dari Jawa hingga Timor.
Stagodon Sompoensis
Gajah kerdil dari Sulawesi.
Stegodon Soondari
Spesies gajah kerdil lainnya yang diberi nama seorang
arkeolog, Soondar.
Elephas celebensis
Gajah kerdil dari Sulawesi. Tengkoraknya dapat
dibedakan dari gajah besar karena tidak memiliki cekungan parietal dan adanya
reduksi fungsional jaringan tulang pneumatik yang mencirikan gajah kerdil
(Palombo, 2001). Walaupun ditemukan di Sulawesi, dan Hooijer sendiri mengatakan
gajah ini berasal dari Sulawesi, penelitian lebih lanjut olehnya (1974)
menyimpulkan kalau Elephas celebensis berasal dari Jawa dan sama dengan Stegodon
hypsilophus dari Jetis.
Kritik dan Saran
Mengenai display sudah cukup bagus. Museum punya
program ke depan yang baik sehingga masalah koleksi sepertinya lambat laun akan
terpenuhi juga. Yang perlu dikritik adalah masalah manajemen. Tentang
manajemen, salah satu yang perlu diperbaiki adalah touchscreen. Waktu
kami datang adalah hari biasa, bukan hari libur, jadi pengunjung tidak ramai.
Ini sebenarnya saat yang tepat untuk memakai strategi intensif. Ketika
pengunjung sedikit, setiap pengunjung kemungkinan akan lebih lama melihat-lihat
karena ruang geraknya lebih luas. Pengetahuan mereka juga akan lebih mendalam
karena memeriksa hingga ke detail. Untuk itu, touchscreen perlu
diaktifkan sehingga pengunjung dapat lebih jauh mendalami geologi dan sejarah
alam. Dan kemungkinan juga pengunjung akan mempelajari lebih jauh lagi dengan
membeli berbagai cenderamata. Jadi, alih-alih menutup toko cenderamata di hari
biasa, lebih baik dibuka. Kebetulan kami pengen beli cenderamata tapi tokonya
tutup. Hehe.
NB: Sejumlah revisi telah dilakukan setelah mendapat
masukan dari antropolog, Julianty Martadiradja.
Referensi
Groves, C.P., Guerin, C. 1980. Le Rhinoceros Sondaicus
Annamiticus (Mammalia, Perissodactyla) D’Indochine: Distinction Taxinomique et
Anatomique: Relations Phyletiques. Geobios, 13, 2, 199-208
Hooijer, D.A. 1973. Varanus (Reptilia, Sauria) from
the Pleistocene of Timor. Zoologische Mededelingen, Vol. 47, No. 34,
p.445-449
Hooijer, D.A. 1974. Elephas Celebensis (Hooijer) from
the Pleistocene of Java. Zoologische Mededelingen, Vol. 48, No. 11,
p.85-93
Hooijer, D.A., Kurten, B. 1984. Trinil and
Kedungbrubus: the Pithecanthropus-bearing Fossil Faunas of Java and Their
Relative Age. Ann. Zool. Fennici 21:135-141
Meiri, S., Dayan, T., Simberloff, D. 2006. The
Generality of the Island Rule Reexamined. Journal of Biogeography, 33,
1571-1577
Metcalfe, I., Smith, J.M.B., Morwood, M., Davidson, I.
2001. Faunal and Floral Migrations and Evolution in SE Asia-Australasia.
Exton: A.A. Balkema
Palombo, M.R. 2001. Paedomorphic features and
allometric growth in the skull of Elephas falconeri from Spinagallo
(Middle Pleistocene, Sicily). The World of Elephants – International
Congress, Rome 2001, p. 492-496
Van den Bergh, G.D., Mubroto, B., Aziz, F., Sondaar,
P.Y., de Vos, J. 1996. Did Homo Erectus Reach the Island of Flores? Prehistory
Association Bulletin 14, p. Chiang Mai Papers, Vol. 1, p.27-36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar