Selasa, 28 Februari 2012

Museum Geologi Bandung: Lingkungan Manusia Purba di Jawa


Minggu, 15 Januari 2012 - Kemarin, 9 Januari 2012, di saat yang tak terduga, kami berkunjung ke Museum Geologi di Bandung. Museum ini merupakan museum dengan koleksi geologika yang termasuk juga fosil, selain batuan dan mineral. Koleksi bagian sejarah alamnya hampir lengkap dan beberapa bahkan hanya dapat ditemukan, katanya, di museum ini. Ada ratusan ribu batuan dan puluhan ribu fosil purba, sebagian dipajang dengan rapi dan informatif.

Berikut ulasan mengenai museum geologi Bandung, kekurangan dan kelebihannya. Ulasan ini hanya saya fokuskan pada daerah sejarah alam karena saya lebih mengetahui daerah ini dibandingkan daerah batuan dan mineral. Bagian atas museum sedang diperluas sehingga kami tidak dapat naik ke atas :)
Kelebihan Museum Geologi
Di bagian sejarah alam, seperti museum-museum sejarah alam umumnya, terdapat rentetan fosil dari pertama terbentuknya Bumi hingga masa modern. Gambaran evolusi kehidupan sangat akurat. Display di tata secara historis. Begitu anda masuk, anda akan diajak ke awal pembentukan Bumi, terus ke ujung barulah anda akan tiba di daerah evolusi manusia. Koleksi fosil di daerah awal pembentukan Bumi juga cukup lengkap. Fosil tertua tampaknya adalah stromatolit yang berusia 3,5 miliar tahun.
Beberapa fosil tertua di dunia yang usianya sekitar 1 miliar tahun atau lebih dapat ditemukan: Collenia sylindrica, Xystridura saint, Ellipsocephalus hoffi, Phycodes circinnatus, Pentacrinites subangularis, Halysites sp, Monograptus bohemicus, Spongophylum thezaslen, Tryplasma lansdalei, dan lain-lain.
Replika Kerangka T-Rex di Ruang Sejarah Alam Museum Geologi Bandung

Karena Indonesia di masa dinosaurus masih berada di bawah air, dapat diduga kalau fosil-fosil hewan dinosaurus darat tidak dapat atau nyaris tidak ditemukan. Mayoritas fosil dinosaurus berasal dari luar negeri. Satu fosil dari Indonesia adalah dinosaurus air, Ichtyosaurus, dari Pulau Seram.
Seperti halnya negara vulkanis, ada banyak sekali fosil kayu berusia antara 5 hingga 10 juta tahun, dipoles dengan indah. Fosil-fosil kayu besar semacam ini dapat ditemukan pula di wilayah lereng-lereng gunung berapi di Jawa karena mudahnya kayu memfosil pada daerah vulkanis. Fosil lain yang melimpah di museum ini adalah fosil khas wilayah minyak bumi seperti fosil-fosil foraminifera, molluska, dan hewan lunak lainnya.
Di bagian manusia purba, terdapat banyak sekali fosil asli Indonesia. Ruang khusus ini memajang berbagai replika fosil manusia purba di dunia dan fosil manusia purba seperti Homo erectus yang dikenal di dunia dengan sebutan Java Man, baik yang ditemukan di Trinil, Sangiran, Sambungmacan, maupun di berbagai lokasi di sepanjang aliran Bengawan Solo.
Menariknya, foto Tukimin, seorang penemu tengkorak juga diletakkan di meja pajang. Sejarah penemuan fosil juga dibeberkan dengan jelas dan dinisbahkan pada Tukimin, bukan pada  profesor ini itu. Sebuah penghargaan yang sangat baik saya rasa. Jika anda menemukan fosil manusia purba, mungkin foto anda akan dipajang disamping fosilnya.
Dua kelompok fosil yang relatif unik untuk wilayah Indonesia adalah fosil manusia purba dan mamalia purba. Fosil manusia purba mungkin sudah cukup terkenal dari buku sejarah SMP anda. Sayangnya, tidak ada fosil Homo floresiensis, mungkin karena fosil ini masih langka dan belum pula ada replikanya.
Pengalaman mengenai manusia purba tidak lengkap rasanya bila tidak mengetahui bagaimana mereka hidup dan seperti apa alam dimana mereka hidup. Dan satu lagi kelebihan museum ini, ada display besar, yang terbesar malah, mengenai hewan besar (bukan hanya mamalia tapi ada juga reptilia) yang hidup semasa dengan manusia purba. Fosil-fosil fauna ini memang aslinya ditemukan di daerah dekat penemuan fosil manusia purba. Menariknya, menurut DR. Yun Yunus Kusumabrata, fosil-fosil vertebrata di museum ini unik dari Indonesia. Berikut ulasan lebih mendalam pada koleksi vertebrata dari Indonesia di Museum Geologi Bandung.
Lokasi Fosil-fosil Mamalia Purba di Museum Geologi Bandung

Fosil Vertebrata Indonesia
Sinomastodon bumiayuensis
Gajah purba berumur 1,2 hingga 1,5 juta tahun lalu yang bentuk badannya kecil dan gading lurus.
Stegodon trigonocephalus
Gajah yang hidup sekitar 1 hingga 1,2 juta tahun lalu, dengan ukuran relatif besar dan gadingnya melengkung. Ada dua subspesies gajah ini yaitu florensis dan martin. Martin berasal dari Jawa dan florensis dari Flores. Subsepsies Martin ditemukan di Cisaat, Jawa Barat. Subspesies dari Flores merupakan fosil vertebrata Pleistosen pertama ditemukan di Flores. Ia ditemukan oleh Raja Nagekeo, Josef Dapangole di Ola Bula, kabupaten Ngada, pada bulan Desember 1956. Temuan ini dilaporkan pada Dr. Th. Verhoeven, seorang pendeta Belanda di Mataloko. Setelah penggalian lebih lanjut dan dibawa ke Leiden, fosil kemudian diklasifikasi sebagai fosil Stegodon trigonocephalus florensis. Penggalian lebih lanjut oleh ilmuan Indonesia menemukan fosil Stegodon lebih banyak lagi ditambah fosil-fosil lainnya seperti fosil pengerat, Hooijeromys nusatenggara.
Elephus hysudrindicus
Fauna Jetis (Kedungbrubus) yang hidup sekitar 800 ribu tahun lalu, dengan bentuk badan besar dan gading melengkung. Masih diperdebatkan apakah spesies ini berasal dari Asia atau asli Jawa.
Elephus maximus
Kelompok gajah yang masih ada saat ini. Umumnya hidup di benua, kecuali gajah Srilanka dan Sumatera. Gajah Jawa yang baru ditemukan di Sabah, Kalimantan, juga merupakan jenis gajah modern yang ditemukan masih hidup di daerah pulau.
Rhinoceros Sondaicus
Badak Sunda, ditemukan di Trinil dan Kedungbrubus. Berkerabat dengan Badak Jawa, Rhinoceros kendengindicus dari Trinil. Memiliki tiga varian yaitu annamiticus, guthi, dan sondaicus. Berasal dari Indochina.
Hippopotamus Simplex
Kuda Nil purba. Berasal dari Jawa.
Bubalus Palaeokerabau
Kerbau purba. Ditemukan di Kedungbrubus.
Geochelone Atlasi
Kura-kura raksasa. Fosil ini berasal dari era Pleistosen dan ditemukan di Jawa, Sulawesi, Raebia (Atambua, Timor), dan India.
Karapaks Kura-kura Raksasa

Celebochoerus Heekereni
Babi besar dari Sulawesi. Lebih dekat kekerabatannya dengan Phacochoerus dari Afrika daripada dengan babi rusa.
 Varanus Komodoensis
Komodo. Hewan ini masih hidup hingga sekarang. Dahulu juga hidup di Pulau Flores dan Atambua, Timor, karena ditemukan fosil-fosilnya disana. Kerabatnya, Varanus bolkayi ditemukan di Trinil dan Kedung Brubus. Hooijer (1973) juga menduga kalau kedua spesies ini sebenarnya sama dan berdistribusi mulai dari Jawa hingga Timor.
 Stagodon Sompoensis
Gajah kerdil dari Sulawesi.
Stegodon Soondari
Spesies gajah kerdil lainnya yang diberi nama seorang arkeolog, Soondar.
Elephas celebensis
Gajah kerdil dari Sulawesi. Tengkoraknya dapat dibedakan dari gajah besar karena tidak memiliki cekungan parietal dan adanya reduksi fungsional jaringan tulang pneumatik yang mencirikan gajah kerdil (Palombo, 2001). Walaupun ditemukan di Sulawesi, dan Hooijer sendiri mengatakan gajah ini berasal dari Sulawesi, penelitian lebih lanjut olehnya (1974) menyimpulkan kalau Elephas celebensis berasal dari Jawa dan sama dengan Stegodon hypsilophus dari Jetis.

Kritik dan Saran
Mengenai display sudah cukup bagus. Museum punya program ke depan yang baik sehingga masalah koleksi sepertinya lambat laun akan terpenuhi juga. Yang perlu dikritik adalah masalah manajemen. Tentang manajemen, salah satu yang perlu diperbaiki adalah touchscreen. Waktu kami datang adalah hari biasa, bukan hari libur, jadi pengunjung tidak ramai. Ini sebenarnya saat yang tepat untuk memakai strategi intensif. Ketika pengunjung sedikit, setiap pengunjung kemungkinan akan lebih lama melihat-lihat karena ruang geraknya lebih luas. Pengetahuan mereka juga akan lebih mendalam karena memeriksa hingga ke detail. Untuk itu, touchscreen perlu diaktifkan sehingga pengunjung dapat lebih jauh mendalami geologi dan sejarah alam. Dan kemungkinan juga pengunjung akan mempelajari lebih jauh lagi dengan membeli berbagai cenderamata. Jadi, alih-alih menutup toko cenderamata di hari biasa, lebih baik dibuka. Kebetulan kami pengen beli cenderamata tapi tokonya tutup. Hehe.
NB: Sejumlah revisi telah dilakukan setelah mendapat masukan dari antropolog, Julianty Martadiradja.
Referensi
Groves, C.P., Guerin, C. 1980. Le Rhinoceros Sondaicus Annamiticus (Mammalia, Perissodactyla) D’Indochine: Distinction Taxinomique et Anatomique: Relations Phyletiques. Geobios, 13, 2, 199-208
Hooijer, D.A. 1973. Varanus (Reptilia, Sauria) from the Pleistocene of Timor. Zoologische Mededelingen, Vol. 47, No. 34, p.445-449
Hooijer, D.A. 1974. Elephas Celebensis (Hooijer) from the Pleistocene of Java. Zoologische Mededelingen, Vol. 48, No. 11, p.85-93
Hooijer, D.A., Kurten, B. 1984. Trinil and Kedungbrubus: the Pithecanthropus-bearing Fossil Faunas of Java and Their Relative Age. Ann. Zool. Fennici 21:135-141
Meiri, S., Dayan, T., Simberloff, D. 2006. The Generality of the Island Rule Reexamined. Journal of Biogeography, 33, 1571-1577
Metcalfe, I., Smith, J.M.B., Morwood, M., Davidson, I. 2001. Faunal and Floral Migrations and Evolution in SE Asia-Australasia. Exton: A.A. Balkema
Museum Geologi. 2010. Peta Petunjuk. Versi Bahasa Indonesia.
Palombo, M.R. 2001. Paedomorphic features and allometric growth in the skull of Elephas falconeri from Spinagallo (Middle Pleistocene, Sicily). The World of Elephants – International Congress, Rome 2001, p. 492-496
Van den Bergh, G.D., Mubroto, B., Aziz, F., Sondaar, P.Y., de Vos, J. 1996. Did Homo Erectus Reach the Island of Flores? Prehistory Association Bulletin 14, p. Chiang Mai Papers, Vol. 1, p.27-36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar