Perpaduan antara teori klasik
Einsteinian dan teori holografik cukup bermanfaat untuk menjelaskan berbagai fenomena
alam semesta yang selama ini dianggap rumit. Termasuk untuk menjelaskan konsep
Takdir yang masih membingungkan sejumlah kalangan.
Dalam sudut pandang Einsteinian, ruang
dan waktu adalah dimensi kontinum yang eksistensinya sudah ada secara
bersamaan. Ketika kita menyebut variable ruang: disana-disini-disitu, maka
dalam konteks yang senada kita pun bisa mengatakan: dulu-sekarang-nanti. Ya,
sebagaimana dimensi ruang yang memuat ‘disana-disini-disitu’ secara bersamaan,
dimensi waktu pun memuat ‘dulu-sekarang-nanti’ dalam satu paket.
Dengan kata lain, seluruh peristiwa yang
terjadi di masa lalu, di waktu sekarang, dan di masa yang akan datang,
sebenarnya terjadi secara berbarengan di dalam kontinum ruang-waktu. Atau bisa
dikatakan: sebuah peristiwa sedang dimulai, sedang berlangsung, dan sedang
diakhiri, terjadi bersamaan..! Pemahaman seperti ini, memang agak membingungkan
sejumlah kalangan. Terutama yang ‘terjebak’ pemahaman lama, dimana waktu
‘terkesan’ terjadi secara berurutan: dulu, sekarang, dan nanti.
Bagi mereka yang memahami teori
ruang-waktu Einsteinian agaknya bisa mengerti keberadaan dimensi ruang-waktu
yang tak terpisahkan itu. Memang, jauh lebih mudah membayangkan dimensi ruang
‘disana-disini-disitu’ secara bersamaan, daripada membayangkan waktu
‘dulu-sekarang-nanti’ yang eksis sepaket. Dalam dimensi ruang, ketika Anda
berdiri ‘disini’, maka Anda langsung bisa mengerti jika dikatakan ‘disana’ dan
‘disitu’ terjadi bersamaan. Bahkan Anda bisa menunjuk dengan jari telunjuk Anda
posisi yang berbeda itu. Ini berbeda dengan dimensi waktu yang jauh lebih
abstrak.
Tapi begitulah, karena perubahan dimensi
ruang yang sedang mengembang ini terikat pada pertambahan dimensi waktu, maka
konsekuensinya dimensi waktu pun sebenarnya telah eksis di alam semesta sebagai
bentuk kontinum dari T = nol sampai T = tak berhingga. Dan akibatnya, seluruh
peristiwa yang terjadi di dalam dimensi ruang-waktu itu pun sudah terjadi
secara bersamaan ‘disini-disitu-disana’ dalam waktu ‘dulu-sekarang-nanti’ yang
juga serentak.
Saya ingin memberikan analogi yang lebih
mudah. Marilah kembali kepada grafik tiga dimensi berbentuk globe yang sudah
saya jelaskan dalam note-note sebelumnya. Jika alam semesta dianalogikan dengan
globe itu, maka alam semesta ini memang sudah mewujud. Wujudnya apa? Ya globe
itu. Karena globe itu memang terbentuk dari dimensi waktu dan dimensi ruang
secara simultan. Garis bujurnya membentuk dimensi waktu, sedangkan garis
lintangnya membentuk dimensi ruang.
Jadi, ketika ruang & waktu belum
berubah, globe itu belum terbentuk. Atau dalam realitas alam semesta, ketika
ruang dan waktu itu belum bergerak, maka alam semesta ini belum eksis. Padahal
alam semesta ini ternyata sudah eksis. Berarti, ruang dan waktu pun sudah
eksis. Waktu T = nol, dan volume V = nol, berada di kutub utara globe. Yakni
saat, alam semesta berada di awal penciptaan. Sedangkan waktu T = tak
berhingga, dan volume V = nol ada di kutub selatan globe, yakni ketika alam
semesta mengalami keruntuhan. Volume terbesarnya berada di perut globe, di
lingkaran katulistiwa, yakni saat alam semesta bergerak berbalik arah dari
mengembang ke mengerut.
Jika Anda ingin berada di dalam ruang
yang lebih besar atau berpindah dari ‘sini’ menuju ‘kesana’, maka Anda harus
bergerak di dalam waktu yang ‘menua’, yakni bergerak dari kutub utara globe ke
kutub selatannya. Tidak bisa tidak. Karena, waktu hanya bergerak searah ke masa
depan. Begitu Anda bergerak – ke arah manapun – ke barat, timur, selatan,
utara, maka Anda berarti bergeser menuju katulistiwa. Alias menuju ruang alam
semesta yang semakin membesar, dimana waktu bergerak menua. Dan jika Anda
teruskan lagi, maka Anda akan ‘terseret’ oleh pergerakan waktu menuju ke kutub
selatan, dimana volume alam semesta akan mengecil kembali.
Jadi ringkas kata, realitas alam semesta
ini ibarat sebuah ‘kanvas peristiwa’, yang terbuat dari dimensi ruang dan
waktu. Dimana sang kanvas tidak berhenti alias statis, melainkan dinamis
seiring terjadinya peristiwa itu sendiri. Dan terbentuk oleh waktu yang
bergerak ke masa depan, seiring volume semesta yang mengembang, dan kemudian
mengerut kembali.
Maka, globe sudah terhampar dengan
koordinat ruang-waktu dalam bentuk garis-garis lintang dan garis bujurnya.
Peristiwa yang akan kita temui pun sudah terhampar di permukaan globe itu.
Tinggal, Anda sebagai ‘pengamat sekaligus pelaku’ akan bergerak kemana untuk
‘membentuk sejarah’ Anda masing-masing. Semua bergantung ‘kehendak’ dan
keinginan Anda untuk menciptakan sejarah Anda sendiri, di dalam ruang dan waktu
yang sebenarnya sudah terhampar beserta segala peristiwanya.
Setiap peristiwa sedang dimulai,
dijalani, dan diakhiri oleh setiap orang yang menempuh sejarahnya
masing-masing. Tetapi, karena setiap orang harus melewati dimensi waktu secara
berurutan, semua peristiwa itu tampak ‘seakan-akan serial’. Padahal semua
peristiwa itu sudah eksis di alam semesta ‘secara paralel’.
Di dalam buku MEMBONGKAR TIGA RAHASIA
saya menganalogikan sejarah setiap orang itu terbentuk oleh perjalanannya
sendiri di ruang angkasa. Bayangkanlah, setiap orang memiliki sebuah sepeda
motor luar angkasa yang sangat canggih. Cara menjalankan sepeda motor itu cukup
dengan kehendak. Setiap Anda berkehendak maju, maka spontan kendaraan angkasa
itu akan maju. Dan kalau Anda berkehendak berhenti, maka seketika itu pula ia
akan berhenti. Anda bisa bergerak tiga dimensi di dalam ruang.
Rute perjalanan Anda adalah ke angkasa
luar, menjelajah ruang dan waktu. Di ruang angkasa itu terdapat
‘stasiun-stasiun peristiwa’ yang jumlahnya tidak berhingga. Dimana Anda akan
membentuk ‘sejarah perjalanan’ Anda sendiri dengan cara mampir ke
stasiun-stasiun itu. Maka, ada miliaran manusia yang melesat ke luar angkasa
dalam misi perjalanannya.
Lintasan yang Anda tempuh adalah dimensi
ruang, dimana Anda boleh menentukan sebebas-bebasnya untuk mengunjungi stasiun
peristiwa yang mana pun Anda ingini. Ada yang memulai kunjungannya dari stasiun
nomer 1, dan berurutan ke stasiun-stasiun berikutnya sebanyak yang dia bisa
capai. Ada pula yang mengunjungi stasiun-stasiun peristiwa itu secara acak,
dimulai dari stasiun nomer 100, lantas 20, dilanjutkan ke 75, dst. Atau, ada
yang terbengong-bengong belaka.
Tetapi,
ingat, setiap pengembara diberi waktu terbatas berdasar bahan bakar yang
diisikan ke dalam sepeda motornya. Maka, saat stop watch dipencet bergeraklah seluruh pengendara sepeda motor
itu dengan agenda masing-masing untuk mengunjungi stasiun-stasiun peristiwa
yang akan membentuk sejarahnya. Setiap orang pasti berbeda sejarah, meskipun
ada juga sebagian yang sama. Apalagi, di setiap stasiun itu ternyata
pertunjukan yang disajikan terus berganti-ganti. Sehingga setiap orang yang
mampir ke stasiun itu berpeluang untuk memperoleh suguhan peristiwa yang
berbeda. Sejarah yang berbeda.
Analogi diatas barangkali tidak persis
dengan mekanisme sejarah kehidupan yang kita lalui. Tetapi intinya adalah,
setiap orang memiliki peluang untuk membangun sejarah masing-masing secara
berbeda di dalam ruang dan waktu yang sudah ada. Faktor utama pada setiap orang
berada pada kehendak bebasnya. Tetapi, harus diingat, ia hanya bisa berjalan
diantara stasiun-stasiun peristiwa yang sudah ada di dalam dimensi ruang-waktu.
Sejarah setiap orang ‘hanyalah soal urutan’ mengalami peristiwa yang dia pilih,
dari alternative peristiwa berjumlah tak berhingga yang terhampar di kanvas
alam semesta.
Lantas bagaimana hubungannya dengan
Tuhan Sang Penguasa segala peristiwa? Teori holografik, saya kira, bisa
membantu menjelaskannya. Bahwa seluruh peristiwa di alam semesta ini sebenarnya
adalah pancaran holografik dari eksistensi Tuhan. Bukan hanya pada variable
materi sebagai pembentuk sosok, dan variable energi sebagai penggerak
peristiwa. Melainkan, ‘kanvas’ ruang dan waktu pun adalah proyeksi dari
eksistensi-Nya. Demikian juga variable informasi yang memicu terjadinya peristiwa.
Semua itu adalah proyeksi diri-Nya.
Allah menggambarkan, bahwa seluruh
peristiwa memang sudah tersedia dalam bentuk file di kitab induk yang disebut
sebagai Lauh Mahfuzh. Tak ada satu peristiwa pun yang tidak termaktub di pusat
data alam semesta itu. Dimana data-data inilah yang kemudian diproyeksikan
secara holografik ke kanvas ruang-waktu untuk menjadi peristiwa. Data-data di
Lauh Mahfuzh itu sendiri merupakan ‘proyeksi’ yang mewakili sifat-sifat dan
eksistensi-Nya.
QS. Al An’aam (6): 59
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib.
Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan. Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya. Dan tidak jatuh sebutir biji pun di dalam kegelapan bumi, dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh).
Jadi, kitab induk data alam semesta
inilah yang menjadi ‘master film’ hologram yang di putar di layar ruang dan
waktu. Bahkan, sebenarnya ruang-waktu itu sendiri pun merupakan hasil proyeksi
holografik. Dengan kata lain, semua realitas ini semu belaka. Bagaikan
bayang-bayang tiga dimensi dari foto hologram yang sebenarnya merupakan efek
holografik yang ditembakkan di lembaran kertas foto yang dua dimensi. Ya, efek
tiga dimensi yang terjadi pada lembaran kertas foto itu semu belaka.
Sama dengan realitas kehidupan ini,
dimana kanvas alam semesta yang kosong ‘ditembak’ dengan pancaran ‘sinar
ilahiah’ melewati ‘master film’ holografik berupa kitab peristiwa Lauh Mahfuzh.
Hasilnya adalah efek hologram di kanvas ‘ketiadaan’ yang menghasilkan variable
ruang-waktu-materi-energi-informasi. Kombinasi simultan dari berbagai variable
itulah yang membentuk berbagai peristiwa sebagai sejarah personal maupun
kolektif.
Semua itu tampak nyata, karena Allah
menciptakan perangkat ‘kamera dan monitor’ yang sangat canggih berupa panca
indera dan otak. Sistem saraf yang dikomandoi otak inilah sebenarnya yang
membuat segala efek hologram itu menjadi tampak nyata. Bisa dipahami secara
berurutan di dalam ruang dan waktu, serta terlihat berinteraksi secara material
dan energial.
Lantas, apa substansi dasar dari
eksistensi manusia ini? Jawabnya adalah: ruh. Dengan ruh itulah seseorang
‘berkehendak’ untuk melewati sejarah kehidupannya. Melintasi berbagai peristiwa
yang sudah terhampar di alam semesta, untuk membentuk urutan unik secara
personal maupun kolektif. Dan menariknya, saya kira Anda pun sudah tahu, bahwa
ruh itu ternyata juga hasil ‘proyeksi holografik’ dari sifat-sifat Ilahiah
dalam skala makhluk. Saat DIA menghembuskan sebagian ruh-Nya, manusia lantas
memperoleh sifat-sifat-Nya, diantaranya adalah ‘berkehendak’.
Maka, kalau kemudian ada yang bertanya:
kehendak saya ini bebas ataukah terikat pada kehendak Allah? Saya kira sekarang
Anda sudah bisa menjawab sendiri, bahwa segala kehendak ini tak lain hanyalah
kehendak Dzat Penguasa Jagat Semesta, Yang Maha Berkehendak dan Maha Bijaksana.
Sedangkan kehendak manusia, hanyalah proyeksi holografik dari kehendak Allah yang
derajatnya sangat parsial bergantung pada sudut pandang kita dalam melihatnya.
Persis gambar-gambar semu hologram yang bisa berubah-ubah ketika dilihat dari
sisi yang berbeda..!
QS. Al Maa-idah (5): 17
… Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit
dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
QS. Al Baqarah (2): 117
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah“.
Lalu jadilah ia.
QS. Al Hajj (22): 70
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui
apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu
terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat
mudah bagi Allah.
Wallahu a’lam bishshawab
~ Salam Merenungi ‘Eksistensi Semu’
Segala Ciptaan-Nya ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar